Rabu, 22 April 2009

CATATAN TANGAN GANGGUAN JIWA PASCA PEMILU (TINJAUAN PSIKOLOGIK)

Issu yang terdengar setelah pemilu legislatif tanggal 9 April 2009 “para caleg banyak mengalami gangguan jiwa” kian terbukti kebenarannya. Profesor Damsar-Universitas Andalas mengemukakan "Setelah pemilu akan muncul orang sakit jiwa dan stress, mereka adalah caleg yang tidak terpilih, umumnya karena banyak diantara mereka yang terpaksa menggadaikan harta dan berhutang," www.hidayatullah.com. Sumber lain mengasumsikan sekitar 7000 caleg yang gagal bertendensi mengalami gangguan jiwa dan ini merupakan jumlah yang luar biasa. Kemudian Menyikapi kondisi tersebut Dirjen Kesehatan Jiwa DEPKES RI memberikan seruan kepada RSJ baik vertikal maupun daerah untuk mempersiapkan langkah antisipasi tanggap darurat jika ini terjadi.
Sebagai praktisi psikolog klinis dengan keseharian melakukan assessment dan psikoterapi, penulis juga kebagian pengalaman terhadap klien (caleg) yang gagal dalam kompetisi legislatif yang datang untuk berkonsultasi. Menariknya, ada beberapa hal yang menjadi catatan penting dan relevan bagi penulis untuk diketahui publik sebagai realita subyektif.
Pertama, secara umum gangguan jiwa pasca pemilu adalah gejala Depresi dengan faktor pencetus kegagalan. Lebih dalam diketahui ini terjadi karena kontruksi kepribadian yang rapuh sehingga tidak mampu menerapakan mekanisme pertahanan diri yang tepat terhadap masalah. Begitu besarnya ambisi untuk menduduki kursi terhormat diperjuangkan dengan penuh pengorbanan, uang, jasmani, pikiran, perasaan bahkan kadang mengesampingkan rasionalitas berfikir. Banyak harta terjual untuk modal (sawah, mobil, rumah, dll) bahkan ada yang memberanikan diri pinjam ke Bank dalam jumlah besar. Pada saat itu impian mereka dipenuhi harapan kemegahan, kehormatan dan uang yang berlimpah-ruah (gaji besar dan berbagai tunjangan) sampai-sampai keluargapun tidak terpikirkan lagi.
Kedua, Depresia dengan mekanisme pertahanan diri yang ambruk sebagian besar dilatarbelakangi pola asuh orang tua yang keras/ disiplin di waktu kecil. Temuan ini dapat dijelaskan bahwa pola asuh orang tua yang beradap keras pada tahap perkembangan awal membawa impact keterpakuan/ fiksasi perkembangan sebab ada beberapa keinginan yang tidak terpenuhi. Keinginan-keinginan tersebut ditanam ke bawah kesadaran sehingga tumbuh menjadi benih sifat menghalalkan segala cara untuk mencapainya terlebih ada kesempatan dan iming-iming harapan yang kuat.
Ketiga, Depresia yang sering ditemui diikuti gejala penyerta yaitu irrational belive (pikiran irrasional). Pemikiran irrasional inilah yang cenderung menghambat proses penyembuhan metode psikoterapi sebab pola fikir yang tertanam negatif. Namun demikian secara kualitatif saya garis bawahi ternyata tidak ada kaitan sama sekali dengan kapasitas intelegensi klien. Pada klien dengan intelegensi grade di atas rata-rata pun juga mengalami hal yang sama bahkan dibarengi dengan gejala-gejala psikosomatik dan hipokondriasis (halusinasi disertai pikiran2 berlebihan). Jadi depresia ini tidak memandang kepintaran seseoarang dan semua orang mempunyai intensitas resiko yang sama untuk mendapat serangan.
Keempat, gejala-gejalan yang sebagian besar dialami para klien tersebut diawali dengan sulit tidur atau frekuensi tidur berkurang, nafsu makan menurun, perasaan menyesal yang luar biasa, perasaan tidak berguna, badan terasa lesu dan sering mengeluarkan keringat dingin, muka atau sebagian kulit terasa panas, bahkan pada fase lebih berat berkeinginan kuat untuk mati (meninggalkan dunia).
Menurut penulis solusi yang paling tepat jika gejala-gejala tersebut muncul maka cepat-cepatlah ke dokter dan nanti dokter akan merujuk ke psikolog atau psikiater untuk dilakukan diagnosis multi aksial, psikoterapi dan psikofarmaka yang sesuai. Mengapa demikian karena gejala-gejala tersebut tudah mengarah pada gangguan depresia secara mutlak (psikotik).
Jika anda belum merasa hanya sebagian mengalami gejala tersebut kemudian didukung dengan vitalitas yang masih bagus dan nafsu makan yang cukup maka ada dapat mengkonsultasikannya saja. Pada prinsipnya cara termudah untuk terlepas dari ganguan jiwa tersebut adalah mengubah kontruksi mental model anda untuk berani menerima konsekuensi logis terhadap apa yang telah lakukan/ pertaruhkan. Tidak mudah memang sebab sama sulitnya dengan membalik kerangka berfikir negatif menjadi positif, butuh latihan, penguat, sugesti yang tepat dan waktu.
Taufik Hidayat, S.Psi.,Psikolog,M.Kes