Senin, 20 Oktober 2008

Jangan Terburu Bangga Dengan Anak Gemuk


Anak bertubuh gemuk tampak sehat dan menggemaskan sehingga para orang tua akan berusaha untuk membuat sang anak menjadi gemuk. Pandangan tersebut kini menjadi tindakan yang menjerumuskan, dari sisi medis anak-anak dengan kele­bihan berat badan (overweight) apalagi sampai kegemukan (obesitas) harus diwaspadai.
Karena kegemukan pada anak dapat memicu munculnya berbagai macam penyakit teru­tama jantung, diabetes, peningkatan kadar kolesterol, gangguan ortopedik seperti kaki pengkar sampai rentan terhadap kelainan kulit. Selain itu, bentuk tubuh anak yang kegemuk­an bisa membuat si anak merasa malu bermain, sehingga tersingkir dari berbagai kegiatan di sekolah ataupun lingkungannya. Kegemukan pada anak-anak jika dibiarkan akan menetap hingga dewasa, sehingga anak tersebut ber­potensi menderita sederet penyakit seperti hipertensi, arteri koroner, kegagalan jantung, sindrom pickwickian, infeksi saluran pernafasan, diabetes melitus, perlemahan hati, hipertrigliserid, kolelitiasis dan kolesistitis, osteorthriti, maupun problem psikologis dan sosial.
Sekitar 1,7 miliar penduduk di dunia ini mempunyai risiko terserang obesitas, dan anak-anak termasuk kelompok usia yang paling potensial terkena obesitas(1). Sepuluh persen kanak-kanak, atau sedikitnya 155 juta anak muda di seluruh dunia, mengalami kelebihan berat badan dan obesitas. Sebelumnya kita menyangka obesitas merupakan problema orang dewasa, tapi kenyataanya juga mengancam anak-anak dan tampaknya makin memburuk(2). Obesitas pada anak-anak secara khusus akan menjadi masalah karena berat ekstra yang dimiliki si anak yang pada akhirnya akan mengantarkanya pada masalah kesehatan yang biasa dialami orang dewasa seperti diabetis, tekanan darah tinggi dan kolesterol tinggi1.
Sekarang jumlah anak penderita obesitas makin banyak di Amerika Serikat dalam tiga dekade terakhir naik dari 7,6-10,8 persen menjadi 13-14 persen; sedangkan anak sekolah di Singapura naik dari 9 persen menjadi 19 persen. Pemerintah Korea Selatan dalam hal ini Departemen Pendidikan melarang penjualan makanan siap saji (junk food) dan minuman bersoda di seluruh sekolah di negeri tersebut. Aturan tersebut sebagai usaha untuk mengatasi meningkatnya obesitas yang dialami anak-anak yang mencapai 18,5% pada tahun 2005.

Penelitian yang dilakukan oleh Boston University School of Medicine, Amerika, pada tahun 2006 dengan melibatkan 872 keluarga yang memiliki anak berusia empat tahun. Ketika mengukur body mass index, menemukan bahwa 17 persen anak-anak yang ibunya terlalu disiplin memiliki berat badan berlebih. Sementara anak yang orangtuanya kurang perhatian hanya 9,9 persen yang obesitas, sedangkan yang orangtuanya terlalu memanjakan 9,8 persen dan hanya 3,9 persen anak dari orangtua yang bersikap fleksibel mengalami kegemukan.
Sehingga dapat dikatakan bahwa orangtua merupakan orang yang paling berpengaruh dalam membentuk anak menjadi gemuk, kurus, sehat atau tidak sehat. Anak-anak belajar memilih makanan mana yang sehat, berapa kali makan sehari, memilih menu makanan, porsi makan, jam berapa saat yang tepat untuk makan, maupun aktivitas apa yang akan dilakukannya setiap hari sangat ditentukan oleh peran orangtua. Hal ini jika dilakukan terus menerus akan menjadi suatu kebiasaan bagi anak.
Disinilah letak orang tua memainkan peran pola asuh dan pola pengasuhannya dengan memberikan model yang patut dicontoh dan ditiru anak kearah pembentukan perilaku pola makan dan perilaku melakukan aktivitas fisik maka dikhawatirkan anak makan semaunya dan malas bergerak akan merujuk anak pada suatu keadaan dimana anak menjadi overweight dan obesitas. Anak kelihatan sehat, gemuk dan menggemaskan yang sebenarnya tidak demikian orangtua perlu mengubah pandangan, anak gemuk adalah anak yang sehat. Orangtua perlu memperhatikan makanan yang dikonsumsi anak.
Dalam lingkungan keluarga orangtua harus memberikan contoh yang patut ditiru anak-anak mereka. Perilaku orangtua besar pengaruhnya bagi pembentukan perilaku anak. Orangtua harus sadar bahwa semua gerak geriknya mendapat sorotan anak. Bandura, mengemukakan bahwa anak-anak, belajar bukan saja dari pengalaman langsung, tetapi juga dari peniruan (imitasi) atau peneladanan (modeling). Perilaku merupakan hasil faktor-faktor kognitif dan lingkungan, artinya anak-anak mampu memiliki ketrampilan berperilaku yang baik jika lingkungan mereka amati menunjukkan perilaku tersebut.
Perilaku orangtua yang makan tanpa mengenal waktu, porsi makan selalu berlebih, rakus, kemudian tidur lalu bangun dan kembali makan cemilan dan seterusnya akan ditiru anak. Seharusnya morangtua mengendalikan diri dari akses perilaku. Kenyataan hal ini sulit dilakukan orangtua. Faktor lain yang sulit untuk dikendalikan juga berperan untuk menjadikan anak berisiko mengalami obesitas seperti kesibukan orang tua untuk mengawasi pola makan yang sehat dan olahraga sebagai prioritas dalam keluarga. Akibatnya anak sulit dikendalikan perilaku makan dan perilaku dalam melakukan aktivitas fisik. Jika peristiwa ini berlangsung lama bukan tidak mungkin anak menjadi overweight hingga obesitas.
Untuk itu berikanlah contoh/ model yang tepat dan patut untuk ditiru anak apalagi di usia 1 s/d 6 tahun sebab pada usia ini anak cenderung sekali mencontoh kegiatan orang dewasa guna melengkapi maturitas pertumbuhannya. Lakukan kontroling terhadap pola makan dan berat badan, jika terdapat indikasi obesitas konsultasikan pada dokter keluarga, spesialis anak atau ahli gizi.

Semoga tulisan ini bermanfaat untuk menambah wawasan dan informasi kita semua.

Writer by: Taufik Hidayat, Psikolog. (RSUD BrigJend H. Hassan Basri Kandangan - KALSEL)

Minggu, 19 Oktober 2008

ANAK CERDAS HARAPAN ORANG TUA


Siapa tidak ingin memiliki anak cerdas? Hampir semua orang tua menginginkannya. Sampai saat ini kecerdasan masih menjadi tolak ukur kesuksesan anak di masa depan. Untuk itu, berbagai upaya dilakukan orang tua agar anaknya cerdas. Banyak teori yang mengatakan bahwa kecerdasan seorang anaki diturunkan dari orang tuanya. Hal ini tidak dapat dipungkiri. Namun, tidak sepenuhnya benar. Berbagai faktor, di luar keturunan ikut berpengaruh menentukan kecerdasan anak.

A. Apakah kecerdasan itu?
Sudut pandang setiap orang dalam mendefinisikan kecerdasan berbeda-beda. Definisi kecerdasan muncul dari berbagai teori para ahli. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kecerdasan identik dengan intelegensi dan didefinisikan sebagai kesempurnaan perkembangan akal budi, seperti kepandaian dan ketejaman pikiran. Seorang pakar kecerdasan, Renzeeli menghubungkan kecerdasan anak dengan kemampuan umum, kreativitas dan motivasi diri. Seorang pakar kecerdasan lainnya, Czeizel menambahkan bakat dalam satu bidang dari definisi Renzeeli.
Sementara Robert T. Kiyosaki, penulis buku best seller : Rich Kid Smart Kid, mendefinisikan kecerdasan adalah kemampuan seseorang membuat distingsi (perbedaan) yang lebih baik. Semakin baik seseorang dapat membuat distingsi, kecerdasannya semakin baik. Kemampuan setiap orang untuk melihat distingsi tidak sama. Oleh sebab itu, setiap orang tua harus dapat melihat kemampuan anaknya dalam membuat distingsi, kemudian mendukung dan mengarahkannya untuk dikembangkan dalam kehidupannya. Kiyosaki memang bukan psikolog atau pendidik, tetapi dari pengalaman hidupnya, ia dapat mengambil kesimpulan ini berdasarkan kesuksesan yang dialaminya.
Selanjutnya, muncul teori terakhir yang banyak di bicarakan orang akhir-akhir ini yang disebut multi-intelegence. Teori yang dikembangkan oleh Howard Gardner, psikolog perkembangan lulusan Harvard University Amerika Serikat memformulasikan 7 jenis kecerdasan. Dalam bukunya berjudul Frames of Mind (1983) disebutkan bahwa kecerdasan dibagi dalam kecerdasan linguistik, kecerdasan logika-matematika, kecerdasan kinestetik, kecerdasan spasial, kecerdasan bermusik, kecerdasan interpersonal dan kecerdasan intrapersonal. Bahkan, belakangan ia menambahkan 2 kecerdasan lagi yaitu kecerdasan naturalis dan eksistensialis.
Teori Gardner ini menjelaskan bahwa setiap anak mempunyai semua kecerdasan tersebut. Namun, hanya satu atau dua kecerdasan tersebut yang berkembang dalam diri anak. Selain itu menurut Gardner, tidak ada dua orang yang memiliki profil kecerdasan yang sama. Semua ini akibat pengaruh genetik dan lingkungan yang berbeda pada setiap anak.

1. Kecerdasan = IQ tinggi?
Banyak orang yang menyamakan arti inteligensi dengan IQ. Padahal keduanya mempunyai perbedaan arti yang sangat mendasar. Arti inteligensi sudah dijelaskan di depan, sedangkan IQ (Intelligence quotient) adalah skor yang diperoleh dari sebuah alat tes kecerdasan. Oleh karena itu, IQ hanya memberikan sedikit indikasi mengenai taraf kecerdasan individu dan tidak menggambarkan kecerdasan secara keseluruhan.
Skor IQ diperhitungkan dengan membandingkan umur mantal (mental age) dengan umur kronologik (chronological age). Jika kemampuan individu dalam memecahkan persoalan-persoalan ters kecerdasan (umur mental) sama dengan kemampuan yang seharusnya (umum kronologis) maka diperoleh skor 1. Selanjutnya, skor tersebut dikalikan 100 dan dipakai sebagai dasar perhitungan IQ. Namun, kemudian timbul masalah karena setelah otak mencapai tingkat optimal, tidak terjadi perkembangan lagi, bahkan pada titik tertentu akan terjadi penurunan kemampuan.
Melihat perkembangan tersebut, sepertinya mendewakan hasil tes IQ sudah harus ditinggalkan. Walaupun sampai sekarang, alat ukur untuk menilai kecerdasan tersebut masih digunakan. Menurut tes IQ, anak yang cerdas adalah yang mempunyai IQ superior (110-125) dan sangat superior (125-140) dan genius (140-200). Semakin tinggi nilai IQ berarti semakin sedikit reaksi yang dikeluarkan untuk memecahkan masalah.
Jadi, intelegensi yang terukur lewat tes IQ tidak cukup untuk mengukur kemampuan individu untuk berprestasi dalam menjalani kehidupannya, baik di sekolah maupun di luar sekolah. Ada beberapa potensi yang tidak dapat terukur lewat IQ dan akan muncul sebagai prestasi yang menakjubkan. Disinilah peran, orang tua, pendidik, dan psikolog untuk melihat potensi masing-masing anak dan menggali serta mengembangkannya.

2. Jenis kecerdasan
Yang menjadi pertanyaan, bagaimana melihat kecerdasan anak agar orang tua, pendidik, atau psikolog dapat membantu memaksimalkannya?Pada intinya teori Renzeeli, Creizel dan Gardner mengungkapkan bahwa kecerdasan tidak identik dengan prestasi anak yang diukur lewat pendidikan formal atau yang berkaitan dengan mata pelajaran di sekolah. Namun, kecerdasan disini menyangkut juga dengan kemampuan, bakat, dan minat pada olahraga atau seni. Termasuk juga kemampuan dalam beradaptasi dengan dunia luar, berkomunikasi dengan orang lain dan mengungkapkan perasaan hatinya. Berikut ini pembagian mengenai kecerdasan.
IQ (intelligence quotient)
IQ tidak mampu mengukur seluruh kemampuan individu secara umum. Jadi, anak dengan hasil tes IQ kurang, pasti memiliki kecerdasan lain yang tidak dapat terukur lewat tes IQ.

EQ (emotional quotient)
Kecerdasan emosional (EQ) tumbuh sering dengan pertumbuhan individu sejak lahir hingga meninggal dunia. Pertumbuhan EQ dipengaruhi oleh lingkungan, keluarga, dan contoh-contoh yang didapat sejak lahir dari orang tuanya. Kecerdasan emosi menyangkut banyak aspek penting yang semakin sulit didapatkan pada manusia modern, yaitu empati (memahami orang lain secara mendalam), mengungkapkan dan memahami perasaan, mengendalikan amarah, kemandirian, kemampuan menyesuaikan diri, disukai, kemampuan memecahkan masalah antar pribadi, ketekunan, kesetiakawanan, keramahan dan sikap hormat.
Ada beberapa contoh, seorang anak yang pandai di kelas ternyata kemampuan EQ-nya kurang. Atau sebaliknya, seorang anak yang biasa-biasa saja di kelas, tetapi mempunyai EQ tinggi. Hal ini akan terlihat dalam sikap dan perilakunya dalam kehidupan sehari-hari.
Daniel Goleman, seorang profesor dari Universitas Harvard menjelaskan bahwa ada ukuran/patokan lain yang menentukan tingkat kesuksesan seseorang. Dalam bukunya yang terkenal Emotional Intelligence, membuktikan bahwa tingkat emosional manusia lebih mempu memperlihatkan kesuksesan seseorang.
Selama ini banyak yang menganggap bahwa jika seseorang memiliki tingkat kecerdasan intelektual (IQ) tinggi, orang tersebut memiliki peluang untuk meraih kesuksesan. Namun, pada kenyatannya banyak kasus seseorang yang memiliki tingkat kecerdasan intelektual tinggi tersisih dari orang yang tingkat kecerdasan intelektualnya lebih rendah.
Jadi, EQ juga memiliki peranan dalam kesuksesan seseorang. Bagaimana mengukur EQ?Tidak seperti IQ yang mempunyai alat ukur dengan hasil berupa angka, EQ merupakan proses yang harus dikembangkan secara bertahap sejak dini.
Selanjutnya, apa kelebihan EQ dibandingkan IQ? Selamanya IQ tidak dapat berkembang. Artinya, IQ tidak akan pernah bertambah maupun berkurang mulai dari individu itu lahir hingga meninggal. Jadi, segala cara untuk mendapatkan IQ superior (genius) akan percuma jika sudah terlahir dengan kecerdasan intelektual (IQ) sedang, begitu pun sebaliknya. Namun, EQ dapat dikembangkan seumur hidup dengan belajar.

CQ (creativity quotient)
Walaupun kurang banyak dibicarakan sebagai bagian dari kecerdasan tetapi tidak dapat diabaikan bahwa kreativitas sebagai unsur penting dalam membantu keberhasilan anak di kehidupan kelak. Kreativitas merupakan salah satu ciri dari perilaku yang intelligen karena merupakan proses mendapatkan pengetahuan melalui pengalaman sendiri. Hal ini ditemukan adanya hubungan dengan IQ.
Guilford menjelaskan bahwa kreativitas adalah suatu proses berpikir yang bersifat divergen, yaitu kemampuan untuk memberikan berbagai alternatif jawaban berdasarkan informasi yang diberikan. Anak yang kreatif akan selalu melihat sisi lain dari hal-hal yang sudah biasa terjadi sehingga sering menemukan hal-hal baru.
Namun, hubungan antara kreativitas dan inteligensi tidak selalu menunjukkan hasil yang memuaskan. Walaupun kreativitas mempunyai hubungan yang ersifat kurva linier dengan inteligensi, tetapi bukti-bukti yang diperoleh dari berbagai penelitian tidak mendukung. Skor IQ yang rendah diikuti oleh tingkat kreativitas yang rendah pula. Namun, semakin tinggi skor IQ, tidak selalu diikuti tingkat kreativitas yang tinggi pula. Sampai pada skor IQ tertentu masih terdapat korelasi yang cukup berarti, tetapi jika lebih tinggi lagi, ternyata tidak.

SQ (spiritual quotient)
Pada akhir-akhir ini, teori ini baru dikembangkan dan diakui sebagai bagian penting dari keberhasilan seorang anak nantinya. Berbicara soal SQ, berarti membahas tentang perilaku individu yang sesuai dengan hatinya atau perbuatan yang berdasarkan kesadaran terhadap Allah yang menciptakan alam semesta.

3. Hubungan IQ, EQ dan SQ
Menurut Dr.Guslihan D.Tjipta,SpAK dalam makalahnya pada seminar Talk Show Sharing Moments by Pigeon yang berjudul “Menyelaraskan IQ, EQ dan SQ Agar Anak Tangguh dan Mandiri” tahun 2003 menjelaskan bahwa anak menjadi orang sukses jika memiliki IQ tinggi, mampu bersosialisasi dengan lingkungannya (EQ) dan memiliki keimanan yang kuat (SQ). Tiga kecerdasan ini diharapkan bisa memiliki anak sehingga mampu menjadi individu yang mandiri dan memiliki jiwa yang tangguh setelah dewasa. Namun, sekarang ini banyak orang sukses dengan IQ sedang-sedang saja. Hal ini dikarenakan kemampuannya mengolah kecerdasan emosional (EQ) dan kecerdasan spiritual (SQ).
Sementara itu, Dra. Gustiarti Lella,Psi dalam acara yang sama mengemukakan bahwa efek psikologis mempengaruhi IQ, EQ dan SQ anak. Penelitian terdahulu menemukan bahwa otak bagian kiri manusia merupakan pusat intelektual, sedangkan otak bagian kanan sebagai pusat emosi, sedangkan kecerdasan spiritual terletak di antara kedua titik tersebut yang disebut god spot (titik wilayah ketuhanan). Masing-masing bagian tersebut memiliki dan ketiganya perlu dikembangkan dan diselaraskan untuk menciptakan manusia yang paripurna.

1. Inteligensi dan Bakat
Inteligensi merupakan konsep kemampuan umum individu dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya, sedangkan bakat (apptitude) merupakan kemampuan yang spesifik dalam kemampuan yang umum. Kemampuan-kemampuan spesifik ini memberikan individu suatu kondisi yang memungkinkan tercapainya pengetahuan, kecakapan atau keterampilan tertentu setelah melalui suatu latihan. Tes inteligensi tidak dirancang untuk menyingkap kemampuan-kemampuan khusus ini sehingga bakat tidak dapat diketahui lewat tes inteligensi.
Tes yang digunakan untuk mengetahui kemampuan spesifik disebut tes bakat atau apptitude test. Tes bakat yang dirancang untuk mengetahui prestasi pada bidang tertentu dinamakan scholastic aptitude test, sedangkan yang dipakai dalam bidang pekerjaan adalah vocational aptitude test dan interest inventory.Contoh dari scholastic aptitude test adalah tes potensi akademik (TPA) dan graduate record examination (GRE).Contoh dari vocational aptitude test atau interest inventory adalah differential aptitude test (DAT) dan kuder occupational interest suvey.

B.Fungsi Otak dalam Kehidupan Manusia
Kecerdasan sangat berkaitan dengan perkembangan otak.Otak memegang peranan besar dan penting dalam kehidupan manusia karena otak merupakan pusat pengendali berbagai aktivitas fisik dan mental.Hal ini karena otak memiliki sistem kerja yang sangat kompleks.
Otak merupakan sekumpulan jaringan saraf yang terlindung dalam tengkorak. Jaringan saraf yang tersusun dari bermilyar-milyar neuron (sel saraf).Sel-sel saraf ini memiliki serabut saraf (dendrit) dan bagian yang menyerupai batang (akson).Jaringan saraf ini terbagi menjadi dua,yaitu otak besar (serebrum) yang terdiri dari belahan otak kanan dan kiri,dan otak kecil (serebelum).
Otak besar merupakan 70% bagian dari seluruh isi otak dan bertanggung jawab terhadap tingkat kecerdasan serta kemampuan berfikir. Informasi dari organ penginderaan diterima otak besar kemudian diolah, disimpulkan,dan ditanggapi. Volume otak kecil kira-kira 10% dari seluruh otak berfungsi sebagai pengontrol koordinasi dan keseimbangan. Jadi,semua gerakan yang dilakukan manusia diatur oleh otak.
Otak memiliki sistem komunikasi yang dapat bereaksi dengan cepat untuk mengadakan respons terhadap setiap informasi yang masuk. Ketika informasi masuk dan diterima,neuron lainnya. Proses ini yang akan membentuk pemikiran dan respon seseorang.
Setiap belahan otak (hemisphere) mengontrol gerakan sisi tubuh yang berlawanan. Belahan otak kiri akan mengatur seluruh bagian badan kanan,sedangkan belahan otak kanan akan mengontrol seluruh bagian badan kiri. Selain itu,belahan otak kiri juga berperan dominan dalam mengembangkan kemampuan visual dan spsial. Belahan otak kanan lebih peka terhadap hal yang bersifat estetis dan emosi karena bekerja berdasarkan data-data dari bentuk, suara, atau gerakan.
Pertumbuhan otak dibagi dua stadium. Stadium pertama adalah stadium pembentukan neuron (sel-sel otak), sedangkan stadium kedua adalah stadium pembesaran dan pematangan neuron.
Pada awal kehamilan, pembentukan otak manusia sudah dimulai dan berlangsung sangat cepat dengan menghasilkan neuron yang berjumlah ratusan milyar. Menurut Dobbing dan Sands dalam jurnal Early Human Development volume 5/1998, pada akhir trimester pertama kehamilan sudah terjadi masa puncak pertumbuhan otak (brain growth spurt), yakni di minggu ke-15 sampai ke-20. Dan setelah usia itu, neuron tidak terbentuk lagi.
Setelah usia tersebut, laju pertumbuhan otak janin hanya terjadi pembesaran neuron yang sudah terbentuk agar lebih lengkap dan kompleks. Cabang-cabang neuron, dendrit dan akson akan bertambah jumlah, panjang, dan hubungan antar-sel serta mielinisasi yaitu proses pembalutan neuron oleh mielin agar tidak terjadi arus pendek (sangat penting pada proses penghantaran rangsangan saraf).
Beberapa ahli menyebutkan bahwa pertumbuhan otak berlangsung sampai usia 2 tahun. Selanjutnya, perkembangan otak ini disempurnakan sampai usia 3 tahun. Pada masa ini hanya berat dan besar sel-sel otak yang akan bertambah. Pada masa ini otak harus benar-benar aman dari berbagai gangguan.
Dalam makalah dr. Dwi Putro Widodo,Sp.AK, Sub Bagian Neurologi Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI pada simposium “Rationale of Adding LCPUF As to Infant Formula from Neurology Prespektive” Perinasia 2000 Semarang, menyebutkan pertumbuhan otak yang paling cepat mulai pada trimester ke-3 kehamilan dan berlanjut sampai tahun ke-2 postnatal. Pertambahan sel-sel otak dapat dilihat dari pertumbuhan kepala bayi, yaitu diukur dari lingkar kepala bayi. Pada periode ini sel-sel otak sangat peka dan dipengaruhi oleh faktor-faktor luar,s eperti gizi, lingkungan dan kesehatan sehingga harus dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk meningkatkan kecerdasan anak. Setelah usia tersebut, penambahan sel-sel otak akan berhenti.

C. Gizi untuk Tumbuh Kembang Otak
Jika berbicara masalah gizi, yang berlangsung terpikir adalah “apa yang kita
faktor penting yang menentukan kecerdasan anak. Perkembangan kecerdasan anak berkaitan erat dengan pertumbuhan otak, sedangkan faktor utama yang mempengaruhi pertumbuhan otak adalah gizi atau nutrisi yang didapatnya. Beberapa teori menyebutkan bahwa sel-sel saraf otak manusia yang jumlahnya milyaran dan senyawa kimia pengaturnya (neurotransmitter) dibangun dari zat-zat gizi dalam makanan.

D. Pengaruh Faktor Lainnya
Faktor lainnya yang ikut berperan dalam menentukan kecerdasan anak selain keseimbangan nutrisi yang baik, yaitu faktor keturunan, kesehatan, dan faktor eksternal, seperti pendidikan dan psikologi. Kekurangan atau gangguan pada faktor lainnya, khususnya pada periode pertumbuhan dan perkembangan otak anak mempengaruhi proses pembentukan otak. Gangguan ini tidak hanya dapat mempengaruhi tingkat kecerdasan anak saja, tetapi juga menyebabkan keterlambatan perkembangan mental anak.

1. Faktor genetik
Salah satu faktor yang paling menentukan kecerdasan seorang anak adalah keturunan (herediter). Menurut dr. Bernard Delvin dari Fakultas Kedokteran Universitas Pitsburg, AS, faktor genetik memiliki peran sebesar 48 % dalam membentuk IQ anak. Menurutnya, kualitas otak janin adalah “bibit” atau “benih” yang berasal dari ayah dan ibunya, yaitu berupa gen-gen yang terdapat pada kromosom dalam sel sperma dan sel telur. Jadi, jika kualitas sel telur dan sel sperma bagus, bisa diharapkan kualitas dari hasil pembuahannya juga akan bagus.

2. Faktor Lingkungan
Menurut Delvin, sekitar 25 % IQ anak di bentuk oleh lingkungan, termasuk ketika masih dalam kandungan. Maksudnya, agar orang tua berupaya memberi “iklim” tumbuh kembang sebaik mungkin sejak anak dalam kandungan agar kecerdasannya berkembang optimal.
Hal ini masuk akal, mengingat ada begitu banyak sel saraf yang dibawa sejak lahir, berarti ada banyak juga sel di otak yang dapat dipakai untuk menerima informasi dan mempelajari sesuatu. Rangsang yang optimal dari lingkungan akan menambah tebal lapisan di atas permukaan otak besar (corpus cerebri) dan penambahan sinaps pada setiap neuron. Hal ini berarti akan lebih banyak informasi yang bisa diterima dan kemampuan otak anak pun akan berkembang lebih optimal.
“Rekayasa” dengan faktor lingkungan adalah yang paling aman dan dapat diterima baik ditinjau dari segi etika. Otak manusia perlu dirangsang sebanyak mungkin dan dimulai sedini mungkin, yaitu sejak dalam kandungan sampai masa tumbuh kembang anak. Jika tidak ada rangsangan, jaringan organ otak menjadi mengecil akibat menurunnya jaringan fungsi otak.
Rangsangan yang diberikan dapat disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing anak. Namun, pada umumnya adalah pemenuhan kebutuhan berkomunikasi, penyediaan sarana atau fasilitas, termasuk status sosial, dan ekonomi, serta dukungan keluarga berupa kasih sayang. Rangsangan-rangsangan yang tepat diharapkan dapat memunculkan potensi atau bakat kemampuan anak, seperti musik, matematika, melukis, dan menari.
3. Faktor kesehatan
Agar proses pembentukan dan perkembangan otak anak berjalan optimal, organ tubuh harus benar-benar aman dari berbagai gangguan. Khususnya, pada saat proses pertumbuhan dan perkembangan otak cepat yang berlangsung sejak masa dalam rahim samapai usia anak 24 bulan. Hal ini merupakan tahapan proses tumbuh kembang otak yang sangat peka. Pada masa ini, faktor kesehatan ibu maupun janinnya penting diperhatikan. Jika tahap ini terusik, mengakibatkan cacat atau gangguan pada pertumbuhan dan perkembangan otak serta susunan syaraf pusat. Walaupun demikian, tidak berarti faktor kesehatan anak di masa tumbuh kembang setelah usia 2 tahun diabaikan. Selama anak dalam masa tumbuh kembang, kesehatan masih berpengaruh pada perkembangan otaknya.
Untuk itu, tidak akan ada artinya jika hanya memeperhatikan satu faktor saja sebagai upaya mencerdaskan anak, tanpa memperhatikan faktor lain. Bagaimanapun kecerdasan anak merupakan hasil dari proses optimalisasi berbagai faktor.

E. Peran Orang Tua
Sejak dalam kandungan, lahir, tumbuh, dan berkembang menjadi seroang anak merupakan suatu proses. Perjalanan dan hasil akhir dari proses ini sangat tergantung dari orang tua. Perlakuan orang tua menentukan kualitas anak di masa depan.
Beberapa ahli mengemukakan bahwa orang tua dapat membuat anaknya menjadi lebih cerdas jika dalam keluarga dibangun suasana yang hangat penuh kasih sayang dan rangsang positif. Anak yang lahir dengan kecerdasan sedang atau biasa saja, tetapi tumbuh dalam keluarga yang penuh dengan kasih sayang dan lingkungan yang kondusif, sanggup meningkatkan taraf kecerdasan anak menjadi lebih baik. Sebaliknya, anak yang lahir dengan kecerdasan tinggi, tetapi hidup dalam keluarga yang kurang kasih sayang dan lingkungan yang tidak mendukunganya, anak tidak akan berkembang menjadi anak yang cerdas.
Akhirnya, orangtualah yang menentukan apakah yang ingin diberikan untuk mengoptimalkan pertumbuhan dan perkembangan otak anaknya. Segala sesuatu yang berhubungan dengan perkembangan dan peningkatan kualitas anak menjadi tanggung jawab orang tua dan hal ini bukanlah pekerjaan yang mudah.
Namun, tidak berarti orang tua yang menentukan segalanya tanpa mempertimbangkan “hak” seorang anak. Dalam hal ini, sebaiknya orang tua bertindak sebagai fasilitator dan mengembangkan potensi yang terlihat pada diri anak. Ingatlah, anak adalah titipan Sang Khalik. Biarlah anak-anak kita dapat lepas seperti anak panah dari busurnya ke arah yang dikehendaki Sang Khalik.
Taufik Hidayat, Psikolog